Rabu, 05 Agustus 2009

Manajemen Pemerintahan

REFORMASI BIROKRASI

Indonesia telah melewati sejarah panjang dalam perjalanan pemerintahan sejak mengenal sistem pemerintahan. Mulai jaman kerajaan, kesultanan, sampai sistem pemerintahan modern (demokrasi). Dalam perjalanan pemerintahan Indonesia mengalami jaman keemasan pada masa pemerintahan Majapahit dengan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada serta kebesaran Kerajaan Sriwijaya yanng merupakan pusat peradaban budaya Budha dan Hindu di Asia Timur. Pada masa pemerintahan Majapahit Indonesia merupakan Kerajaan yang kuat dan makmur dengan kehidupan penuh dengan kedamaian. Kunci kesuksesan Majapahit adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan antar umat beragama yang sebenarnya berbeda.
Pada masa pemerintahan modern Indonesia telah mengalami perubahan sistem pemerintahan. Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menerapkan beberapa sistem pemerintahan. Mulai sistem serikat, parlementer, liberal, maupun terpimpin yang terkenal dengan Orde lama. Setelah peristiwa G 30 S/PKI terjadi perubahan sistem pemerintahan dari Orde Lama menjadi Orde Baru yang diprakarsai oleh Presiden Soeharto dengan pembangunan ekonomi berjangka 5 tahun (PELITA) dan pembangunan jangka panjang 25 tahun. Pada tahun 1998 Indonesia memasuki Era Reformasi sebagai kelanjutan perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia.
Dalam Era Reformasi kinerja kaum birokrasi sangat disorot oleh masyarakat, karena reformasi yang terjadi mulai tahun 1998 lebih ditujukan pada reformasi birokrasi. Dengan reformasi birokrasi diharapkan sistem pemerintahan berjalan dengan baik dan memihak pada masyarakat sehingga tercapai kesejahteraan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

A. Paradigma “Good Governence”
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (Government) atau negara (State) saja, tetapi harus melibatkan seluruh element, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik (masyarakat)

B. Pengertian “Good Governence”
1. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dlam penccapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
2. Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

C. Orientasi ”Good Governence”

1. Orientasi Ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional
Demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti legitimacy, accountability, securing of human right, auntonomy and devolution of power, dan assurance or civilian control.

2. Pemerintah yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efesien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Sejauh mana kompetensi pemerintahan dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

D. Wujud “Good Governance”
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid, bertanggung jawab, sera efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat.

E. Clean Governance
Kepemimpinan yang bersih (Clean Governance) terkait erat dengan akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fugsi dan tanggung jawabnya.
Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewengang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan menyimpang dari etika administrasi publik (mal administrations).

@ Etika administrasi publik
Merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai aduan, referensi bagi administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenganan yang diberikan kepadanya, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standr penilaian untuk menilai apakah tindakan administrasi publik dinilai “baik” atau “buruk”.
Wujud konkrit tindakan administrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi publik (mal administrations) adalah melakukan tinndakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta sejenisnya.

Diperlukan sudut pandang (Paradigma Shift) para pejabat dan pegawai pemerintah daerah untuk meresapi makna dari layanan publik (Public Services). Artinya para pegawai adalah “alat” untuk melayani publik, dan bukan sebaliknya publik harus melayani mereka. Paradigma ini harus tecermin dalam kesadaran peran (Role Awareness) dan tertuang dalam budaya organisasi (Organization Culture) pemerintah daerah. Setiap orang yang menduduki setiap posisi dalam struktur organisasi, harus sadar tentang peran yang harus dijalankan dan mengacu kepada paradigma layanan masyarakat. Budaya organnisasi harus diperkuat, sehingga setiap anggota organisasi yang bernama pemerintah daerah mempunyai referensi nilai yang sama, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Paradigma ini dapat menjadi landasan yang kuat bagi terciptanya good governance, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian daerah berdasarkan prinsip-prinsip tarnsparansi, akuntabilitas (accountability), fairness, dan tanggung jawab. Prinsip-prinsip ini berdiri sejajar dengan prinsip pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustanaibility), terintegrasi, serta komprehensif. Artinya, kepala daerah sudah tidak boleh lagi berpikir untuk mencari bocoran proyek, dan selalu berpikir bagaimana memberi nilai tambahbagi daerhnya.

Untuk mencapai Pemerintahan yang berhasil sesuai cita-bangsa perlu melakukan reformasi :
A. MANAJEMEN ORGANISASI
B. PEMERINTAHAN DAERAH
C. MEMBANGUN KEPEMIMPINAN MODERN

Manusia pada dasarnya adalah makhluk organisasi (homo Organization), artinya sejak drai dalam kadungansampai drnganliang lahat, manusia suka tidak suka, sengaja ataupun tidak sengaja akan behubungan dengan organisasi. Dengan perkataanlain, oeganisasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

Dalam memasuki organisasi, ada dua kepentingan yang belum tentau sejalan, yanki kepentingan individual dan kepentingan organisasi setiap masuk dalam organisasi, orang memiliki kepentingan individual, tetapi padsa saat bersamaan yang bersangkutan harus juga berhadapan dengan kepentingan organisasi. Manajemen yang vaik haus dapat memadukan antara kepentignan individual dan kepentingan organisasional, karena kala tidak akan dapat menjadi bibit konflik berkepanjangan menyebabkan iklim organisasi menjadi tidak sehat.

Organisasi da;at diibaratkan seperti sebuah organisme hidup yang dapat lagir, tumbuh bekembang dan kemungkinan mati. Agar organisasi dapat tetap “survive” mengahadapi perubahan, suatu organisasi harus fleksible dan memiliki daya adaptasi. Pada sisi lain, organisasi merupakan sevuah sistem terbuka yang menerima dan memberi masukan kepada lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal.

Pada organisasi pemerintah, lingkungan eksternal yang saling dominan mempengaruhinya adalah faktor politik, hukum, sosial budaya serta teknologi. Faktor politik berupa perubahan kewajiban politik yang diikuti dengan perubahan peraturan perundang-ungangan. Faktor sosial budaya beupa tata nilai masyarakat dan aparatur dimana organisasi pemerintah itu berada. Faktor teknologi beupa kemanuan teknologi dalam berbagai aspek seperti teknologi informasi dan komunikasi, tenologi pengolahan data serta teknologi peralatan perkantoran dan lain sebagainya.

Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, telah terjadinya perubahan politik secara mendasar karena adanya gerakan reformasi. Salah satu agenda perubahan politik adalah pergantian pareadigma penyelengaraan pemerintahan yang smula bergerak sevtralistik menjadi vergerak desentralistik. Perubahan politik tersebut diikuti dengan lahinya berbagai peraturan perundang-undangan yang baru antara lain UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan di atas harus diikuti dengan penataan ulang kelembagaanpemerintahan daerah, agar mampu mengadaptasi perubahan yang berjalan secara cepat. Kelembagaan yang dimaksud di sii adalah meliputi organisasi di tata kerjanya.

Perkembangan Konsep Organisasi Pada Abad 21
Sebagai organisme hidup yang dinamis organisasi harus mampu beradaptasi dengan perubahan C.K. Prahalad (1987) mengemukakan bahwa “ if you learn, you’ll change, if you don’t chane, you’ll die”. Artinya kalau kita mau belajar berarti kita akan beubahk, sedangkan apabila kita tidak mau berubah mengikuti ataumendahului perubahan, maka kita akan tersigkir hal ini uga berlaku pada organisasi pada umumnya serta organisasi pemerintah pada khususnya. Hal tersebut sejalan denganpandangan Peter M. Senge (1990) mengenai perlunya membentuk organisasi pembelajaran (learning organization) yang dimulai dari pembelajaran individual (individual learning) dan kelompok pembelajaran (group learning).

Senge (1990) mengemukakan pendapatnya mengenai disiplin kelia yaitu berpikir sitematik (systemic thinking), yang dimulai dari empat disiplin lainnya yaitu: 1) kematangan pribadi (Personal matery), 2) model mental (mental models), menyebarakan visi (shared vision, dan tim pembelajaran (team learning).

Para ahli organisasi seperti Gouliart dan Kelly (1995) Belbin (1996), Mohrman et al (1998), pada umumnya sepakat bahwa organissi abad 21 memiliki ciri:
1. Lebih kecil
2. Lebih cepat
3. Lebih terbuka
4. Lebih melebar

pada sisi lain, Warren dan Rennis (1995) misalnya menyarankan agar organisasi abad 21 khususnya organisasi pemerintahan lebih mengutaak kemampuan profesional dibanddingkan denga kewengangan yang dimilikinya. Dalam bahasa yang sederhana mereka mengatakan perlunya pergeseran dari paradigma kewenangan pada paradigma profesionalisme (From Macho to Maesto).

Ahli lain yakni Frank Ostroff (1999) mengemukakan pendapatnya bahwa organisasi abad 21 bersifat lebih melebar dan mengarah pada bentuk organisasi horisintal. Model organisasi horisontal bertujuan agara lebih banyak anggota organisasi yang diberdayakan agar menjadi lebih mandiri dalam mengambil keputusan. Ada tiga langkah membentuk organisasi horisontal yakni:
1. Menentukan tujuan
2. Menyusun formulasi disain
3. Melemagakan pendekatan

Afar organisasi dapat selalu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya, diperlukan proses transformasi Gouillarat dan Kelly (1995) mengemukakan model 4R untuk transformasi organisasi yaitu :
1. Reframing corporate direction
2. Testructuring the company
3. Teviatalizing the enerprise
4. Renewing people.

Tahap pertama transformasi organisasi adalah menyusun kembali kerangka tujuan organisasi dengan menetapkan visi dan misi sesuai deng kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi (Analisis SWOT). Tahap kedua adalah menata ulang struktur organisasi sesuai dengan visi dan mis organisasi. Tahap ketiga adalah memperbaiki iklim, mekanisme serta bgdaya organisasi agara sesuai dengan visi dan misi yang beu. Tahap keempat adalah memperbaharui cra pandang dan semangatnya.

Keempat tahap tersebut meliput duabelas langkah sebagai berikut :
1. Mencapai tahapan mobilisasi
2. Menciptakan visi
3. Membangun alat ukur
4. Menyusun model ekonomi
5. Pembenahan infrastruktur kerja
6. Menata ulang arsitektur kerja
7. Mencapai fokurs pasar
8. Kembangkan visnis yang baru
9. Ubah peraturan melalui teknologi informasi
10. Ciptakan struktur ijmbalan
11. Bangun pembelajaran individual
12. Kembangkan organisasi.

Transformasi organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Gouillart dan Kelly di atas pada dasarnya mencakup tiga dimensi yaitu:
1. Dimensi struktural
2. Dimensi fugsional
3. Dimensi kultural

Dari ketiga dimensi di atas, maka dimensi kultural yang paling sulit berubah karena menyangkut tata nilai yang sudah lama tertanam. Terlebih lagi setiap orang mempunyai daya retensi terhadap perubahanl secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin besar kepentingan seseorang terganggu oleh adanya perubahan, semakin besar kepentingan seseorang terganggu oleh adanya perubahan, semakin besar pula daya retensinya terhadap perubahan tersebut. Di sini diperlukan kepemimpinan yang kuat anggota organisasi bahwa perubahan terebgut memang perlu dan untuk kepentingan bersama.

Abad 21 adalah abad telekomunikasi dan informatika. Oleh karena itu organisasi perlu menghadapi kemajuan teknologi tersebut ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, Groth (1999) telah menawarkan desain organisasi masa depan berbasis teknologi informatika. Groth (1999) mengemukakan adanya tiga model organisasi yaitu :
1. The Regulating Model
2. The Mediating Model
3. The Assisting Model

Minggu, 02 Agustus 2009

Manajemen Pemerintahan

Reformasi Birokrasi

Indonesia telah melewati sejarah panjang dalam perjalanan pemerintahan sejak mengenal sistem pemerintahan. Mulai jaman kerajaan, kesultanan, sampai sistem pemerintahan modern (demokrasi). Dalam perjalanan pemerintahan Indonesia mengalami jaman keemasan pada masa pemerintahan Majapahit dengan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada serta kebesaran Kerajaan Sriwijaya yanng merupakan pusat peradaban budaya Budha dan Hindu di Asia Timur. Pada masa pemerintahan Majapahit Indonesia merupakan Kerajaan yang kuat dan makmur dengan kehidupan penuh dengan kedamaian. Kunci kesuksesan Majapahit adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan antar umat beragama yang sebenarnya berbeda.

Pada masa pemerintahan modern Indonesia telah mengalami perubahan sistem pemerintahan. Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menerapkan beberapa sistem pemerintahan. Mulai sistem serikat, parlementer, liberal, maupun terpimpin yang terkenal dengan Orde lama. Setelah peristiwa G 30 S/PKI terjadi perubahan sistem pemerintahan dari Orde Lama menjadi Orde Baru yang diprakarsai oleh Presiden Soeharto dengan pembangunan ekonomi berjangka 5 tahun (PELITA) dan pembangunan jangka panjang 25 tahun. Pada tahun 1998 Indonesia memasuki Era Reformasi sebagai kelanjutan perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia.
Dalam Era Reformasi kinerja kaum birokrasi sangat disorot oleh masyarakat, karena reformasi yang terjadi mulai tahun 1998 lebih ditujukan pada reformasi birokrasi. Dengan reformasi birokrasi diharapkan sistem pemerintahan berjalan dengan baik dan memihak pada masyarakat sehingga tercapai kesejahteraan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

A. Paradigma “Good Governence”
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (Government) atau negara (State) saja, tetapi harus melibatkan seluruh element, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik (masyarakat)

B. Pengertian “Good Governence”

1. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dlam penccapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.

2. Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

C. Orientasi ”Good Governence”

1. Orientasi Ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional
Demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti legitimacy, accountability, securing of human right, auntonomy and devolution of power, dan assurance or civilian control.

2. Pemerintah yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif, efesien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Sejauh mana kompetensi pemerintahan dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

D. Wujud “Good Governance”
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid, bertanggung jawab, sera efisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat.

E. Clean Governance
Kepemimpinan yang bersih (Clean Governance) terkait erat dengan akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fugsi dan tanggung jawabnya.
Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewengang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan menyimpang dari etika administrasi publik (mal administrations).

@ Etika administrasi publik

Merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai aduan, referensi bagi administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenganan yang diberikan kepadanya, dan sekaligus dapat digunakan sebagai standr penilaian untuk menilai apakah tindakan administrasi publik dinilai “baik” atau “buruk”.

Wujud konkrit tindakan administrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi publik (mal administrations) adalah melakukan tinndakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta sejenisnya.

Diperlukan sudut pandang (Paradigma Shift) para pejabat dan pegawai pemerintah daerah untuk meresapi makna dari layanan publik (Public Services). Artinya para pegawai adalah “alat” untuk melayani publik, dan bukan sebaliknya publik harus melayani mereka. Paradigma ini harus tecermin dalam kesadaran peran (Role Awareness) dan tertuang dalam budaya organisasi (Organization Culture) pemerintah daerah. Setiap orang yang menduduki setiap posisi dalam struktur organisasi, harus sadar tentang peran yang harus dijalankan dan mengacu kepada paradigma layanan masyarakat. Budaya organnisasi harus diperkuat, sehingga setiap anggota organisasi yang bernama pemerintah daerah mempunyai referensi nilai yang sama, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Paradigma ini dapat menjadi landasan yang kuat bagi terciptanya good governance, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian daerah berdasarkan prinsip-prinsip tarnsparansi, akuntabilitas (accountability), fairness, dan tanggung jawab. Prinsip-prinsip ini berdiri sejajar dengan prinsip pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustanaibility), terintegrasi, serta komprehensif. Artinya, kepala daerah sudah tidak boleh lagi berpikir untuk mencari bocoran proyek, dan selalu berpikir bagaimana memberi nilai tambahbagi daerhnya.

Untuk mewujudkan Pemerintahan agar dapat mencapai kemakmuran dan kemajuan bersama
a. MANAJEMEN ORGANISASI
b. PEMERINTAHAN DAERAH
c. MEMBANGUN KEPEMIMPINAN MODERN


Manusia pada dasarnya adalah makhluk organisasi (homo Organization), artinya sejak drai dalam kadungansampai drnganliang lahat, manusia suka tidak suka, sengaja ataupun tidak sengaja akan behubungan dengan organisasi. Dengan perkataanlain, oeganisasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

Dalam memasuki organisasi, ada dua kepentingan yang belum tentau sejalan, yanki kepentingan individual dan kepentingan organisasi setiap masuk dalam organisasi, orang memiliki kepentingan individual, tetapi padsa saat bersamaan yang bersangkutan harus juga berhadapan dengan kepentingan organisasi. Manajemen yang vaik haus dapat memadukan antara kepentignan individual dan kepentingan organisasional, karena kala tidak akan dapat menjadi bibit konflik berkepanjangan menyebabkan iklim organisasi menjadi tidak sehat.

Organisasi da;at diibaratkan seperti sebuah organisme hidup yang dapat lagir, tumbuh bekembang dan kemungkinan mati. Agar organisasi dapat tetap “survive” mengahadapi perubahan, suatu organisasi harus fleksible dan memiliki daya adaptasi. Pada sisi lain, organisasi merupakan sevuah sistem terbuka yang menerima dan memberi masukan kepada lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal.

Pada organisasi pemerintah, lingkungan eksternal yang saling dominan mempengaruhinya adalah faktor politik, hukum, sosial budaya serta teknologi. Faktor politik berupa perubahan kewajiban politik yang diikuti dengan perubahan peraturan perundang-ungangan. Faktor sosial budaya beupa tata nilai masyarakat dan aparatur dimana organisasi pemerintah itu berada. Faktor teknologi beupa kemanuan teknologi dalam berbagai aspek seperti teknologi informasi dan komunikasi, tenologi pengolahan data serta teknologi peralatan perkantoran dan lain sebagainya.

Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, telah terjadinya perubahan politik secara mendasar karena adanya gerakan reformasi. Salah satu agenda perubahan politik adalah pergantian pareadigma penyelengaraan pemerintahan yang smula bergerak sevtralistik menjadi vergerak desentralistik. Perubahan politik tersebut diikuti dengan lahinya berbagai peraturan perundang-undangan yang baru antara lain UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan di atas harus diikuti dengan penataan ulang kelembagaanpemerintahan daerah, agar mampu mengadaptasi perubahan yang berjalan secara cepat. Kelembagaan yang dimaksud di sii adalah meliputi organisasi di tata kerjanya.

Perkembangan Konsep Organisasi Pada Abad 21
Sebagai organisme hidup yang dinamis organisasi harus mampu beradaptasi dengan perubahan C.K. Prahalad (1987) mengemukakan bahwa “ if you learn, you’ll change, if you don’t chane, you’ll die”. Artinya kalau kita mau belajar berarti kita akan beubahk, sedangkan apabila kita tidak mau berubah mengikuti ataumendahului perubahan, maka kita akan tersigkir hal ini uga berlaku pada organisasi pada umumnya serta organisasi pemerintah pada khususnya. Hal tersebut sejalan denganpandangan Peter M. Senge (1990) mengenai perlunya membentuk organisasi pembelajaran (learning organization) yang dimulai dari pembelajaran individual (individual learning) dan kelompok pembelajaran (group learning).

Senge (1990) mengemukakan pendapatnya mengenai disiplin kelia yaitu berpikir sitematik (systemic thinking), yang dimulai dari empat disiplin lainnya yaitu: 1) kematangan pribadi (Personal matery), 2) model mental (mental models), menyebarakan visi (shared vision, dan tim pembelajaran (team learning).

Para ahli organisasi seperti Gouliart dan Kelly (1995) Belbin (1996), Mohrman et al (1998), pada umumnya sepakat bahwa organissi abad 21 memiliki ciri:
1. Lebih kecil
2. Lebih cepat
3. Lebih terbuka
4. Lebih melebar

pada sisi lain, Warren dan Rennis (1995) misalnya menyarankan agar organisasi abad 21 khususnya organisasi pemerintahan lebih mengutaak kemampuan profesional dibanddingkan denga kewengangan yang dimilikinya. Dalam bahasa yang sederhana mereka mengatakan perlunya pergeseran dari paradigma kewenangan pada paradigma profesionalisme (From Macho to Maesto).

Ahli lain yakni Frank Ostroff (1999) mengemukakan pendapatnya bahwa organisasi abad 21 bersifat lebih melebar dan mengarah pada bentuk organisasi horisintal. Model organisasi horisontal bertujuan agara lebih banyak anggota organisasi yang diberdayakan agar menjadi lebih mandiri dalam mengambil keputusan. Ada tiga langkah membentuk organisasi horisontal yakni:
1. Menentukan tujuan
2. Menyusun formulasi disain
3. Melemagakan pendekatan

Afar organisasi dapat selalu beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya, diperlukan proses transformasi Gouillarat dan Kelly (1995) mengemukakan model 4R untuk transformasi organisasi yaitu :
1. Reframing corporate direction
2. Testructuring the company
3. Teviatalizing the enerprise
4. Renewing people.

Tahap pertama transformasi organisasi adalah menyusun kembali kerangka tujuan organisasi dengan menetapkan visi dan misi sesuai deng kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi (Analisis SWOT). Tahap kedua adalah menata ulang struktur organisasi sesuai dengan visi dan mis organisasi. Tahap ketiga adalah memperbaiki iklim, mekanisme serta bgdaya organisasi agara sesuai dengan visi dan misi yang beu. Tahap keempat adalah memperbaharui cra pandang dan semangatnya.

Keempat tahap tersebut meliput duabelas langkah sebagai berikut :
1. Mencapai tahapan mobilisasi
2. Menciptakan visi
3. Membangun alat ukur
4. Menyusun model ekonomi
5. Pembenahan infrastruktur kerja
6. Menata ulang arsitektur kerja
7. Mencapai fokurs pasar
8. Kembangkan visnis yang baru
9. Ubah peraturan melalui teknologi informasi
10. Ciptakan struktur ijmbalan
11. Bangun pembelajaran individual
12. Kembangkan organisasi.

Transformasi organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Gouillart dan Kelly di atas pada dasarnya mencakup tiga dimensi yaitu:
1. Dimensi struktural
2. Dimensi fugsional
3. Dimensi kultural

Dari ketiga dimensi di atas, maka dimensi kultural yang paling sulit berubah karena menyangkut tata nilai yang sudah lama tertanam. Terlebih lagi setiap orang mempunyai daya retensi terhadap perubahanl secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin besar kepentingan seseorang terganggu oleh adanya perubahan, semakin besar kepentingan seseorang terganggu oleh adanya perubahan, semakin besar pula daya retensinya terhadap perubahan tersebut. Di sini diperlukan kepemimpinan yang kuat anggota organisasi bahwa perubahan terebgut memang perlu dan untuk kepentingan bersama.

Abad 21 adalah abad telekomunikasi dan informatika. Oleh karena itu organisasi perlu menghadapi kemajuan teknologi tersebut ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, Groth (1999) telah menawarkan desain organisasi masa depan berbasis teknologi informatika. Groth (1999) mengemukakan adanya tiga model organisasi yaitu :
1. The Regulating Model
2. The Mediating Model
3. The Assisting Model